Thursday, April 06, 2006

Pengorbanan

Jika bukan kau, tak ingin aku menunggu disini diterpa hujan badai. Malah kalau bukan engkau, malas aku menjalankan pekerjaan layaknya kuda bendi yang selalu dipecut. Tapi karena engkau aku biarkan darahku mengalir kapanpun dibutuhkan. Bila begitu, bodohkah aku?

Hei ! Kaupun tahu kalau semua butuh pengorbanan dan pengorbanan membutuhkan penghargaan dalam bentuk apapun. Meski begitu kenapa kau hanya diam dan menunggu. Hanya menunggu.

Mungkin aku harus mati untukmu! Namun hingga kini aku ragu menyerahkan nyawa pada Iblis agar kau mengerti! Haruskah semua adalah pengorbanan? Aku tak tahu. Mungkin lebih baik kau mati lebih dulu!

Friday, March 31, 2006

Ditunggu Mati

Kala Abu Hanifah sedang dalam perjalanan menuju masjid berpapasan dengan seorang tengkulak pasar. Sang tengkulak tersenyum dan menyapanya dengan ramah.
"Apa kabar, hendak kemanakah tuan?"
"Saya hendak salat di masjid, kemanakah tuan menuju?," ujar Abu Hanifah.
"Saya akan ke pasar tuan, mencoba mengais sedikit rezeki!"
"Tiadakah tuan hendak salat dahulu"
"Saya akan salat nanti, saya sedang ditunggu," kata sang tengkulak menolak ajakan Abu Hanifah.
"Saya pun ada perlu sedikit dengan tuan, bisakah setelah salat tuan cepat menemui saya di pasar?" Ujar sang tengkulak lagi.
"Maaf tuan, saya mungkin ada sedikit urusan, jadi tiada bisa cepat-cepat"
"Urusan apakah tuan," kata sang tengkulak penuh selidik.
"Saya harus berzikir, karena saya ditunggu mati!" lirih Abu hanifah sambil tersenyum.
Sang tengkulak termenung sejenak. lalu dengan nada penyesalan ia berucap.
" Ya Allah maafkan aku, wahai sahabat izinkan aku menyertaimu ke masjid," ucap sang tengkulak pada Abu Hanifah. Maka berjalanlah mereka berdua menuju masjid yang dituju. (Abdurrahman Arroisi : 2001)