Sunday, February 13, 2005

Sentere mide (My Choice)

Verg themos legere ver gesk hikhta
Mosch um tera.
Egre met levist mengko huam kuste
Igranes va dela joachom?

Koam su ledene su..
Guar de voat. ivlisti gerachon hive

Sentere loa se sente
Igha va loade senterejur chok hum gerelam chua ka
Ole tuk rojasatu legakh um tiakh

Saturday, February 05, 2005

Dongeng Dari Negeri Tikus

Seekor tikus berdasi kupu-kupu dengan lantang berkata di depan belasan microphone yang disodorkan padanya. "Mari kita membangun Tanah Barat yang hancur dilanda bencana akibat murka Dewa. Kemudian dengan fasih ia melafalkan petuah-petuah bijak yang biasa diucapkan orang tua berjanggut putih. Jumlah kepeng santunan dan segala bentuk bantuan lain juga disebutkan. "Dari yang mulia tikus putih, kami menerima 100 kotak keju. Oh iya, Ketua Persatuan Partai Tikus Gigi Kuning juga menyumbang lima gerobak roti," kata si tikus berdasi bangga. Tak lupa, dia juga menegaskan bahwa sebagian bantuan telah dikirimkan bagi korban bencana. Dari kejauhan terdengar ratusan tikus berpakaian compang-camping mengelu-elukan nama sang pejabat itu. "Hidup pak tikus dasi kupu-kupu," cicit mereka.

Belum rampung konferensi pers si dasi kupu-kupu, belasan tikus besar hitam besar datang menghampiri. "Maaf pak dasi kupu-kupu, kami dari Satuan Keamanan Negeri Tikus (Sakerkus) akan membawa bapak," ujar seorang tikus besar yang mengenakan lencana bintang keemasan. "Lo, ada apa ini," bentak si dasi kupu-kupu mencicit keras. Namun pertanyaan si dasi kupu-kupu dijawab dengan borgol di tangannya. Selanjutnya, si tikus dasi kupu-kupu dibawa pergi dengan konvoi gerobak bercat putih biru. Sementara tikus-tikus lain disana cuma saling berpandangan, bingung.

Esok hari, misteri penangkapan si dasi kupu-kupu terungkap. Surat Kabar Jurnal Pengerat memberitakan bahwa si dasi kupu-kupu telah menyelewengkan dana bantuan bencana bagi Tanah Barat. Namun dalam kutipan berita disebutkan, si dasi kupu-kupu menyanggah tuduhan itu. Dia juga menyatakan siap mempertaruhkan harga dirinya di pengadilan tinggi.

Sepekan kemudian, ribuan penduduk negeri tikus memadati alun-alun kota. Di tengah lapangan itu, panggung persidangan bagi sang koruptor digelar. Sejumlah wartawan dari berbagai media juga berdatangan. Para pejabat Republik Negeri Tikus Raya juga tampak duduk berderet di sebuah panggung terpisah yang lebih tinggi. Si tikus dasi kupu-kupu tampak tegang saat duduk di kursi terdakwa. Dalam sidang ini, Bertindak sebagai hakim adalah tikus jenggot kelabu, jaksa penuntut si tikus buntut panjang, dan pembela adalah tikus kumis keriting.

Lewat dua jam dari waktu yang ditetapkan, persidangan baru dimulai. Tikus jenggot kelabu mengetuk palu berulang kali sambil berteriak keras. "Sidang akan dimulai, jangan mencicit lagi," bentak jenggot kelabu. Sesuai agenda sidang, jaksa lalu menyuarakan dakwaannya. "Ehm, Tikus dasi kupu-kupu telah mengambil sebagian dana bantuan Tanah barat, dia harus dihukum potong gigi," kata si buntut panjang lantang. "Anda punya bukti saudara jaksa?" Kata jenggot kelabu. "Saya punya saksi kok yang mulia" tukas buntut panjang. Kemudian seorang tikus bermoncong mancung dipanggil untuk memberikan kesaksian.

Usai disumpah, jaksa dipersilakan menanyai si tikus monyong. "Pak monyong, apa pekerjaan anda?" Tanya buntut panjang. "Saya bertugas mengendus bantuan makanan," kata tikus monyong sambil garuk-garuk kepala. Si buntut panjang mengerutkan dahi lebarnya. "Mm maksudnya untuk mendeteksi apakah ada makanan yang berkutu. Kalau ada, kutu itu harus saya usir," tambah sang saksi. "Oh begitu, coba ceritakan peristiwa di gudang makanan yang anda laporkan ke Sakerkus," kata si buntut panjang. Lalu si monyong menuturkan kalau si dasi kupu-kupu mengirimkan bantuan makanan tak sesuai jumlah yang ditentukan, Misalnya saja, dari sepuluh botol susu bantuan, lima botol selalu dibawanya pulang ke rumah. Si monyong menegaskan, hal itu diketahuinya dari dokumen pengiriman barang dan data gudang yang ternyata tidak sesuai. Karena itulah, si monyong segera mengambil dokumen-dokumen tersebut untuk dilaporkan pada tikus yang berwajib.

Saat si monyong mengutarakan kesaksiannya, tak seekor pun hadirin yang mencicit. Mereka mendengarkan dengan seksama penuturan itu. "Sekarang mana dokumen itu?" Kata jenggot kelabu. "Ini pak hakim, anda lihat saja kedua buku administrasi ini," kata si monyong seraya menyerahkan kedua buku tersebut pada hakim. Sang hakim membaca buku yang diterimanya itu dengan seksama. "Memang benar, jumlah yang diterima dan yang dikirimkan memang beda,"ujar jenggot kelabu manggut-manggut. Suasana tiba-tiba ramai. warga yang hadir memaki riuh rendah pada si dasi kupu-kupu. "Dasar pejabat korup, diracun tikus saja pak hakim," teriak salah seorang warga. "Jangan, buang saja ke negeri kucing," ujar warga lainnya. Cicitan massa kian membahana. "Tok, tok, tok," palu sidang dibunyikan. "Berisik, diam semua!" Bentak jenggot kelabu. Serentak suasana alun-alun menjadi hening.

Si kumis keriting mengangkat tangan, "Pak hakim saya juga mau menanyai saksi". Setelah jenggot kelabu mengangguk si kumis keriting bangkit dari tempat duduknya. Sejenak, kumis keriting berjalan mengitari kursi si monyong sambil memandanginya. "Bung monyong, apakah anda minta izin dulu pada kepala bagian anda ketika mengambil kedua buku administrasi itu?" Tanya si kumis keriting dengan nada suara yang dingin. "Eeng... Tidak pak," jawab si monyong pelan. "Ahaa," tiba-tiba si kumis keriting berteriak keras sambil menunjuk saksi.

"Tok, tok, tok," jenggot kelabu tiba-tiba membunyikan palunya. "Pak pembela, jangan bikin kaget. Saya jantungan tahu!" Bentak jenggot kelabu sambil melotot. "Maaf pak hakim," ujar si kumis keriting sambil nyengir. sang pembela itu kemudian berdehem beberapa kali dan mengelus-elus kumisnya. "Dengan kata lain pak monyong, berarti anda telah mengambil buku itu tanpa izin kan?," lanjut kumis keriting. Dituduh begitu rupa tikus malang itu menelan ludah dan menarik nafas panjang. "Keberatan pak hakim, pak monyong kan saksi, bukan terdakwa," ujar si buntut panjang tiba-tiba. Hakim menganggukkan kepala sebagai tanda keberatan diterima.

Si tikus keriting cuma mesem. "Dengan bukti ini pak dasi kupu-kupu sudah terbukti bersalah pak hakim! Sidang ini sudah berakhir," ujar buntut panjang tersenyum puas. Jenggot kelabu diam sebentar hingga kemudian palu sidang diangkat tinggi-tinggi. Tikus dasi kupu-kupu menahan napas. Air mukanya menegang, sementara lututnya bergetar. Terbayang oleh dia bagaimanan nanti gigi kesayangannya akan di potong. Mau ditaruh dimana wajahnya nanti. Masa sih binatang pengerat tak punya gigi, memalukan sekali.

Sebelum palu sempat diketukkan, sang pembela berteriak keras. "Maaf pak hakim, ada hal yang perlu saya sampaikan," lengking si kumis keriting. Jenggot kelabu mengerenyitkan dahi sesaat, "silakan". "Klien saya memang telah terbukti korupsi pak hakim. Namun saya rasa itu suatu hal yang baik," ujar si kumis keriting kalem. "Hah, baik darimananya?" Buntut panjang menggelengkan kepala. Sedangkan dahi jenggot kelabu kembali berkerut, "tolong jelaskan maksud anda, saudara pembela". "Begini pak hakim, coba kita tengok ke zaman ketika pemerintahan tikus kita berdiri setelah bebas dari penjajahan bangsa kucing. Sejak presiden tikus pertama dinobatkan, korupsi pejabat kan sudah dilakukan," tutur kumis keriting. "Hah yang benar saja, masak hal ini mesti diungkapkan," jerit si buntut panjang. "Apa anda menyangkal fakta sejarah ini saudara jaksa," tegas kumis keriting tak kalah sengit. Buntut panjang hanya terdiam. "Baik jikalau ada di antara para hadirin yang mau menyangkal fakta sejarah ini, silakan berbicara sekarang," tantang sang pembela sambil memandang berkeliling tikus-tikus di sekelilingnya. Namun semua tikus bungkam, tak ada yang berbicara. "Baik, begini korupsi terparah di negara kita ketika kaisar tikus kedua kita berkuasa. Dan ia dahulu yang telah kita gembar-gemborkan sebagai bapak pembangunan kita, sang penghapus komunisme, bahkan dia adalah sang penyelamat kita dari perang saudara bangsa tikus di masa silam". Ucapan si kumis keriting terhenti sejenak untuk melihat reaksi para tikus di sekelilingnya. Tapi, mata semua tikus di lapangan itu lurus memandangnya. Mereka menanti lanjutan penuturan si kumis keriting. "Coba renungkan saudaraku, korupsi, kolusi, dan nepotisme, sebenarnya telah dilakukan sejak zaman baheula. Menurut seorang filsuf terkenal, tikus brewok pisan, syarat korupsi ada beberapa poin. Di antaranya harus tikus yang punya jabatan menengah ke atas dan menggelapkan kepeng dalam jumlah besar. Nah terlepas dari itu, karena korupsi adalah barang lama, bukankah itu dapat dikategorikan sebagai budaya?" Si buntut panjang dengan gusar menggebrak mejanya, "katakan apa maksud anda sebenarnya pak pembela". "Karena ini adalah budaya, bukankah pak dasi kupu-kupu harusnya diberi penghargaan satya lencana kebudayaan karena melestarikan adat asli bangsa kita," bentak kumis keriting dengan nada lebih tinggi. Jenggot kelabu mengangguk pelan. "Memang sih, korupsi adalah budaya pejabat yang mendarah daging," ujar sang hakim mengiyakan. "Nah kalau begitu, bukankah pejabat itu idealnya harus korupsi. Bila kita tak mendukung pemimpin kita sendiri untuk ideal, maka siapa lagi," tukas kumis keriting berapi-api. Tak diduga seekor pejabat tinggi yang berada di panggung kehormatan berteriak lantang. "Betul, pejabat yang ideal itu adalah yang korupsi," ujar Tikus mantan pemimpin Dewan Musyawarah Rakyat Tikus. "Betul itu, hidup pejabat ideal, hidup pejabat korupsi," kata tikus betina mantan presiden negeri tikus yang dikenal kritis setelah turun tahta. Sahut-sahutan itu kemudian melibatkan hampir seluruh pejabat yang hadir.

Ditimpali begitu rupa, kadar semangat si kumis keriting naik 200 persen. "Dengarkanlah ucapan pemimpin kita wahai rakyat tikus. Para pemimpin yang kita pilih sendiri. Bukankah anda harusnya malu kalau tidak mendukung junjungan kita?" Teriak kumis keriting lantang. Sorak sorai para warga tikus langsung memenuhi seluruh penjuru lapangan. "Pejabat pilihan kita tak mungkin salah, hidup pejabat," lengking sejumlah warga. Massa lainnya juga meneriakkan hal senada. "Bukankah berarti Pak tikus kupu-kupu harusnya dibebaskan?" Cicit kumis keriting. Pernyataan ini ditimpali warga tikus dengan yel-yel dadakan. "Be-bas-kan, be-bas-kan".

Beberapa saat kemudian kumis keriting mengangkat tangannya dan teriakan-teriakan tersebut terhenti. "Nah pak hakim, ini adalah suara rakyat. Ini demokrasi. Silakan anda putuskan baik-baik," ujar kumis keriting kemudian duduk kembali di bangkunya. Jenggot kelabu menarik nafas panjang. "Saudara dasi kupu-kupu dinyatakan bebas dari semua tuduhan, sidang selesai," ujar jenggot kelabu. Palu sidang diketukkan tiga kali, disusul gemuruh sorak suka cita warga tikus.

Dua hari setelah sidang, harian Jurnal Pengerat memberitakan kabar gembira. Si dasi kupu-kupu dianugrahi Satya Lencana Kebudayaan karena melestarikan budaya korupsi. Tikus dasi kupu-kupu menyatakan, ia sangat gembira menerima penghargaan. Selain itu, dia berjanji akan terus membudidayakan korupsi hingga akhir hayatnya. Di kolom lain, sidang tikus monyong akan digelar secepatnya. Dia dituduh melakukan kejahatan ganda, yakni mencuri dokumen kantor dan mencemarkan nama baik. Bila terbukti mencuri, si monyong bakal kena hukuman sadis yakni digigit massa beramai-ramai. Hukuman untuk kejahatan lainnya adalah dilem tikus selama maksimal tiga musim panen gandum.(OZI)

Friday, February 04, 2005

Sulit...

Malam ini terlalu romantis. Rembulan muncul setengah menerangi lembayung di wajahmu. Aku tak mampu menepis keanggunan saat lampu-lampu taman menerangi gaun hijau itu. Tak tahu mengapa, mantel ini malah kukenakan padamu. Senyum itu lalu merekah untukku. Hanya untukku. Tak mampu kuhentikan desau angin yang melantunkan lagu cinta. Bahkan tak sanggup menahan tubuhmu yang menari layaknya putri raja di taman istana. Jiwa-jiwa rapuh kian bergemuruh hendak meledak. Sayang, aku tak kuasa melawan keindahanmu.

Sinar mata lembut membelaiku dan kata-kata itu makin sulit diucapkan. Hati kecil menjerit, menangis. Haruskah kuteriakkan perpisahan itu?. Bilakah kurusak nirwana yang terbersit di binar matamu?. Wahai dewi asmara, baru kusadari betapa kejam engkau.

Saat tangan-tangan halus melingkar di leherku, kau seolah menyadarkan si bodoh ini betapa sulit untuk memilih. Gamang kini adalah derita kemudian hari. Pelukan ini malah membuat lutut bergetar. Kehangatan yang sama seperti yang diberikan bidadari yang kini merajai separuh hatiku layaknya engkau.

Duhai malam segelap hati, baru kusadari betapa halus kulit tubuhnya. Hai setan-setan kegelapan, kini kutemukan betapa menggairahkan desah napas seorang wanita. Perlahan jiwa-jiwa yang bingung terbuai oleh manis kata-kata cinta. Tidak, ini harus dihentikan secepatnya.

Kini wajah memerah itu kutatap lekat-lekat. "Wahai juwita". Nafasku kini kian memburu dan kau menanti penuh harap. "Aku...". Bibir mungil itu merekah, kau tersenyum. "Mencintaimu...". Sentuhan bibirmu kemudian memanjakanku di tengah kekhawatiran. Sayup-sayup, tawa setan-setan terngiang di telinga. Bodoh sekali ucapan itu... (Ki Cepot)