Sunday, April 27, 2008

Catatan Sambas, Maret 2008




Merinding juga kalau disambut dayak. Tiba di pinggir desa kami disambut puluhan orang suku dayak yang membawa tombak, panah, dan banyak senjata lainnya. Kontan beberapa kawan sempat mundur beberapa langkah bahkan ada juga yang lari berbalik arah. Aku sendiri cuma bisa terpaku dan tak dapat bergerak entah kenapa. Yang jelas saat itu hati kami berseru kompak. Takut!

Seorang dayak tua yang membawa tombak mendekat dan berdiri setengah meter dihadapanku. Mengatakan sesuatu yang tak dimengerti. lalu dia menggenggam tangan kananku dan saat itu lutut gemetar seolah di bawah kaki ini ada gempa 7.0 skala richter. Sementara beberapa kawan sudah berteriak-teriak . "Lari!"

Sang dayak tua menarik tanganku kuat ke arahnya. Lembing miliknya digenggamkan kuat ke tanganku. Lalu dengan mata menyala dia mengangkat kedua tangannya. Saat itu aku menarik napas panjang. Entah bagaimana tatapan mata dan gerakan sang Dayak tua menstimuli aku untuk mengangkat lembing tinggi-tinggi ke atas (Rasanya hanya Tuhan yang mampu memparadigmakan komunikasi seperti itu). Saat lembing terangkat, puluhan dayak berteriak-teriak girang dan musik aneh mulai mengalun. Tak lama dayak wanita menyeruak ke depan menarikan tari perang.

Beberapa rekanku yang tadinya mundur ke belakang mulai mendekat ke arahku. Kami lalu dibimbing masuk ke desa dan diberi jamuan aneka macam. Dari Kepala Dinas Perhutanan yang ikut hadir disana, aku mendapat sedikit penjelasan. Itulah cara para dayak di kampung ini menyambut tamu kehormatan. (Ozi)