Wednesday, July 02, 2008

Dering Ponsel Malam Hari


Kukira takkan mungkin lagi melihat namamu di layar telepon selular. Hingga semalam mimpi itu terjadi. Dering yang membuatku tak jadi memejamkan mata. Sesaat terpana, aku masih memisahkan dunia nyata dan mimpi. Kantuk sirna saat kulihat namamu di layar LCD. Mengapa? Padahal entah berapa pekan nomor itu seolah terisolasi dariku.

Takut dering terhenti, kuangkat panggilanmu. Jantungku berdegup cepat, emosi tiada terkendali. "Halo," Ujarku cepat. Namun tak ada panggilan terdengar. Mungkinkah kau ragu bicara padaku? kupanggil namamu beberapa kali. Aneh! Kau tak menjawab sedikit pun.

Aku tahu, mungkin berat bagimu. Setelah perpisahan tiada mengenakkan. Aku tahu kau terluka dan aku tak mampu memberimu sebuah penjelasan yang indah. Namun kali ini, mohon jawab panggilanku. Tanganku bergetar tiada henti. Aku rapuh dikala menanti. Mohon bersuaralah. Kita memang tidak sedang bercinta kini, namun jauh di lubuk jiwa, kau tetap dewiku.

Perlahan dan samar, kutangkap suara-suara halus.
"Halo, apa! Kamu bilang apa? Aku menangis setengah menjerit.
Namun jawaban yang kudengar samar sekali. Hingga sayup dan jelas kudengar suara itu. "Meeoong." Hah! Aku melongo, bego. "Pus, jangan diinjek hapenya dong! ujar sesosok suara yang kukenal. Tak lama setelah itu yang kudengat hanya bunyi "tuut" panjang. My God! Rasanya kini otakku jatuh ke lambung. Jadi hanya itu?

Satu Pertanyaan saja




Hanya satu pertanyaan saja. Kapankah aku mati? Aku akan tahu saat malaikat kematian mendatangiku dengan senyuman. Ucapan maaf berulang kali karena dia harus mengambil nyawaku. Meminta izin dengan sangat hormat. Kemudian nafasku terhenti tanpa ada rasa sakit. Cuma senyuman terhias di bibir dan mengucapkan, "Selamat tinggal dunia."


Jikalau aku tahu, akan kupersiapkan kematianku dengan indah. Aku akan terbaring di ranjang dan seorang gadis cantik nan seksi berada di sampingku. Dia akan membasahi dadaku dengan derai air mata yang seolah tak kunjung habis. Bibir ranum yang membisikan kata berulang kali, "Aku mencintaimu."

Terukir di kepalaku. Orang-orang penting, orang-orang hebat. Berderet menanti tandu jenazah nan megah yang dibawa pria berwajah tampan dan bertubuh kekar. Upacara penghormatan terakhir ala Raja Sulaiman. Syahdu tangis mengiringi kepergian orang tercinta dihati mereka. Aku!

Lihatlah aku. Terbaring di liang lahat terang. Menanti kiamat ala tidur pengantin. Melewati prosesi mahsyar dan perhitungan akhir. Namun tiada keringat dan lelah tercurah. Semua birokrasi melelahkan terlewati. Aku VIP!

Inilah aku. Bercanda bersama para sufi. Berbincang mengenai keindahan nirwana. Pulang ke istana megah indah. Makanan mewah tak mengenyangkan meski dilahap berulang kali. Hari berganti tanpa pernah tertidur. Bercengkrama dengan tawa di siang hari. Menikmati ranum tubuh indah para bidadari di malam hari.

Jadi bolehkah aku bertanya sekali lagi. "Kapan aku mati?"