Tuesday, February 28, 2012

Jeritan karena Cinta


Ketika angin menderu kencang, kau segera merapatkan jaket tebal agar tubuh merasa lebih hangat. Hanya saja angin mampu menembus hingga ke relung hati. Bilur-bilur sembilu tak bisa ditangkis dengan kain setebal apapun. Mengapa tambatan jiwa berlalu tiada pesan, hanya catatan dan tuntutan tanpa pesan dukungan moral? Edan!

Ketika Awan menjadi gelap, warnanya tidak lebih kelam dari hatimu. Jiwa yang meraung meminta pertolongan terdengar hingga ke langit. Perlahan kau mulai menyalahkan nasib. Memutar logika agar roda kehidupan menempatkan kau di puncak kebahagiaan fana.

Ketika titik gerimis kecil menerpa, tubuhmu mulai menggigil. Dingin hati karena belahan jiwa seolah tiada mengerti perasaan yang kini luka. Pengertian yang diinginkan tiada mendapat jawaban. Perlahan kau mulai menatap diri sendiri, mencari kesalahan bodoh yang pernah kau perbuat. Tuhan pun Maha memaafkan, mengapa kau tidak?

Kini hujan deras, dan kau tiada berteduh. Tubuh yang letih itu kini menangis karena lelah. Bukan karena jauh kau berjalan, namun karena sembilu selama perjalanan. Perlahan tangisan hati kian keras karena jawaban tiada didapat.

Ketika tiba di rumah, tubuhmu sudah basah kuyup. Yang kau inginkan hanyalah tidur dan melupakan setiap hal yang ada di kepalamu. Namun sayang, memejamkan mata hanya membuat bayangan buruk malah kian jelas. Kini kau berharap mati untuk melupakan hal yang menyiksamu. Bodoh sekali!

Untukmu sahabatku!

Friday, February 24, 2012

Jangan dulu Berakhir



Setiap detak nadi ini adalah detik yang menunjukkan waktu. Tiada berkata pasti, namun sebuah akhir yang pasti. Bila takdir telah digariskan, maka itu sebuah akibat dari telunjuk yang mengarah pada pilihan. Siapa yang akan tahu?

Awalnya salah dalam melangkah. Perbuatan yang dianggap baik, ternyata berujung pada kepedihan. Pengorbanan yang diakhiri dengan serapah dan kesombongan. Akankah termaafkan oleh Tuhan? Aku tidak tahu. Batinku berontak menuju kepada kebebasan akan prinsip, moral, etika dan keinginan akan nilai. Hingga akhirnya aku tahu, keegoisan itu sudah diwariskan sejak zaman Adam dan Hawa.

Kini aku hanya bisa beralih kepada cinta. Disanalah mungkin aku berharap bisa mati dalam pelukan sayang. Bukan kembali kepada darah dan keturunan yang busuk. Meski aku tahu, aku ternoda oleh kutukan akan darah yang kubenci.

Tuhan, aku tertatih. Berusaha meraih cinta dari tangan-Mu. Berharap napas yang tersengal ini bisa meraih udara lebih banyak. Aku tak ingin kisah ini berakhir tanpa kesimpulan yang indah. Cerita yang mungkin akan diturunkan pada anakku kelak. Inilah ayahmu, tertatih, terluka dan teraniaya, namun masih sanggup berdiri menantang dunia. Jangan dulu berakhir, aku belum siap!