Friday, August 31, 2007




Nyanyian jangkrik malam ini terdengar menyayat. Musuh atau sahabat tiada pernah kumengerti. Untuk pertama kali dalam sepuluh tahun kami saling merangkai kata. Mendendangkan hati yang dulu hanya rahasia. Pria berambut putih tampan yang terlalu naif untuk darah. Dia menyatakan padaku untuk tiada berlaga, pergi dari jalan ksatria yang konyol. Adakah ini suatu pertanda akhir dari sebuah jalan?

Kau tiada mampu mengangkat senjata. Matamu menyiratkan ketakutan seperti halnya mataku. Tersampai maksudmu untuk pergi dari pertarungan yang tiada kami mengerti. Pergi menuju jalan kesepian, meninggalkan orang-orang tercinta. Pria yang dulu kutakuti kini menangis layaknya bayi. Haruskah kami melanjutkan laga yang dipinta para kaum bayangan? kau menggeleng tanda tiada kehendak. Dan aku hanya terdiam atas nasib kami yang tiada pasti. Putih lurus rambutmu layaknya malaikat. Hitam berombak rambutku layaknya iblis. Namun sama-sama tiada jalan bercahaya bagi kami.

Saat perpisahan yang terlalu berkesan. Kupandang punggungmu yang penuh beban layaknya aku. Tiada akan ada manusia yang mengerti kisah kami. Kau pergi meninggalkan luka bagi orang-orang yang mencintaimu. Sementara aku? Apakah ada yang menangisi kepergian sang buruk rupa ini. Salju putih yang indah. Hujan badai yang kelam. Sekelilingmu penuh dengan warna pelangi. Dibelakangku hanya penuh makian, cacian, serta wajah para pendusta janji.

Hanya satu yang pasti. Bahaya akan kejaran para manusia bertanda. Liar nasib kami layaknya langit hutan belantara. Bahkan aku tak tahu maksud akan goresan penaku. Hanya dua nasib didepan kami. Bergelimang darah oleh para pemburu, atau hidup dalam kesengsaraan kesepian yang gelap. Kumohonkan doa untukmu wahai salju putih yang indah. Legenda Salju dan Hujan yang tiada pernah dimengerti manusia. Wahai para manusia yang mengenal kisah kami. Kenanglah dalam hatimu sebuah perjuangan dalam bayangan. Menjadi manusia biasa tiadalah mudah bagi Salju dan Hujan. Hidup dalam keterasingan, tiada tergurat dalam sejarah.

Sonata anak-anak malam kali ini sulit terlupa dari ingatanku. Selamat tinggal orang-orang yang mencintai malaikat putih. Cintamu mungkin terbalas di akhir zaman. Sementara aku kembali merenungi waktu-waktu sepi dalam kehidupan. Berharap kepastian nasib akan datang.

Tuesday, August 28, 2007

Tiada Pilihan



Tiada yang dapat menjabarkan rasa ini. Kala rembulan menghilang, aku tiada mau bersulang untuk ketiadaannya. Lututku gemetar. Tiada mampu aku melukiskan ketakutan dan kemarahan. Nasib para manusia bertanda hitam telah menjelang.

Tanda dari langit tak mampu melukiskan kegetiranku akan nasib. Saat itulah aku mencoba berlari mencari keramaian. Namun tiada dinyana. Ditengah luapan manusia, dia dan aku bertemu mata. Manusia dengan rambut seputih salju. Hari-hari kami seolah telah ditentukan.

Kami saling berpandangan kaku. Keningnya berkerut seolah bertanya padaku. Yang kutahu, kami telah terpaku takdir. Ketakutanku adalah ketakutannya. Jalan kebodohan yang telah kutinggalkan lima tahun terakhir tak mampu kupungkiri.

Haruskah salah satu dari kami mengakhiri jalan takdir? Jikalau aku mencapai semesta, maka airmataku kupastikan tiada mengalir. Jiwa semuku bertemu malam. Jikalau aku masih menginjak bumi, kupastikan tiada lagi teman untuk bertemu. Iblis telah mengikat takdir. Doaku melayang tiada pasti.

Saturday, August 18, 2007

Tamu-tamu di Malam Hari



Tamu pertama kuingat singgah di beranda malam itu. Gadis kecil penuh imaji, berselendang kuning berbaju merah. Menari dibuai sinar matahari sore. Bibir mungilnya berdendang, lagu 'Teluk Bayur.' Terbuai aku oleh lenggok gerakanmu, tiada berkedip nyaris terpana. Terbuai jiwa, terbawa marak.(Rw)

Tamu kedua berkunjung membawa senyum berseri. Gadis berkerudung dengan wajah semanis bunga Peoni. Menyapaku dengan buaian sehangat mentari. Tatapannya riang membawa hati gundah menjadi senang. Bersama dia sepanjang waktu membuat hati kian merindu. Bersemi jiwaku kegelapan hilang sudah.(El)

Tamu ketiga mengetuk hati dengan kerlingan mata. Membasuh jiwa dengan lautan gundah. Nurani yang tiada berkata indah. Andaikata terpikat, jiwa raga bagai tersekat. Meski tiada ramah, tiada pula hati menjadi susah. Menatapmu dengan erat, cukup membuat jantungku lekat dengan cinta.(Er)


Tamu keempat menyapa dengan kepolosan. Senyum tersungging ramah, membuat hati merekah. Wajahnya membuat bidadari merasa malu. Andaikata aku dapat menjadi dewa, sembilu untuk bertaut hati denganmu. Namun kau tiada malu. Memelukku tanpa ragu. Membersihan jiwaku dengan lautan kasih. Namun Senja kian merambat lara, kasihku bermuram durja.(Hl)

Tamu kelima menyampaikan salam dengan manja. Membawaku bicara tentang indahnya pegunungan dan kota. Hati nan indah puisi jiwa. Pilu kalbu kau nyatakan keraguan sembilu. Biru hati dalam angan nan maya. Bimbang raga, bimbang jiwa, tiada terkata.(Am)

Tamu keenam tersipu ibarat dewi nirwana. Indah dalam ingatan, bayangan kesturi dalam temaram. Janji sejuta bintang yang kian rapuh. Andai jarak tiada jauh. Jangkar tertambat, perahu berlabuh. Namun tanya seperti air yang selalu mengalir. Adakah swarga pemberhentian diri terakhir.(Ar)

Tamu-tamuku duduk bersenda gurau. Kutuangkan bagi mereka air mata dalam cangkir-cangkir perak. Penganan sederhana dari manis kesetiaan. Namun mereka permisi pergi. Mungkinkah malu bertamu disini? Ragaku memang buruk rupa. Jiwaku hina dina. Rumahku rapuh sudah.

Satu demi satu tamu-tamu meninggalkan pekarangan. Hanya tamu keempat berpisah dengan tangisan. Ia janji bersua, lain kesempatan dalam dunia berbeda. Pergilah tamu-tamu disertai doa. Tiada hati berharap pada penantian. Cukuplah sudah kunjungan hari ini.

Tuesday, August 14, 2007

Rindu di Persimpangan Jalan



Wanita di persimpangan jalan
Renungan senja berganti dendang
Lukisan kalbu terngiang melagu
Hingga malam inginkan pertautan
Kau takkan tahu betapa cinta bagai pedang
Tajam mengiris surga anganku

Oh Dewi berjubah sutra...
Jika malang datang aku tak inginkan perjalanan
Buruknya pengemis dalam ragaku
Jikalau santun berkata, kau tiada terayu
Topeng hatimu sudah mereka tahu

Perpisahan terucap seiring dua jalan
Persimpangan jalan tiada terbayang
Perpisahan jemu, kau mengingatkanku
Wajah Tao semu kau merindukanku
Tak terucap, pupus bertemu
Pastinya kita selalu berdusta
Malang nasib, suratan dewa, cacian surga

Ilalang di padang keletihan
Tiada terperi aku berangan malam
Jalan sepanjang tanah buangan bodoh
Bukan raga dan sambutan tangan keinginanku
Bertemu di alam mati cukuplah sudah
Jika cinta tiada bertaut
Surga dunia, surga akhirat, apalah bedanya...

Wednesday, August 08, 2007

Anak-anak Malam




Anak-anak malam bernyanyi ikuti kata hati. Ayo, mari bersuka dendangkan ceria, bariskan nada. Ha, ha... Mengapa tak semua ikut bernyanyi? Kau di ujung sana menangis tak berkesudahan. Kau yang cemberut hanya diam menghitung bintang. Bersuka, mari bersuka. Hilangkan kegelapan hati dan nanti terbitlah pagi. Alih-alih diam malah menangis kian keras. "

"Ucapan suci apakah itu? Membuat pengang telingaku," ujarnya marah.
"Hal bodoh kekanak-kanakan!" cetus si penggerutu.

Maka semua kerumunan terdiam. Tiada lagi bersuka tak ingat lagi tertawa. Semua kini terbagi dua. Sebagian ikut menangis, sebagian cemberut menghitung bintang. Tiadakah ada keceriaan layaknya nyanyian burung di pagi hari?

"Ini menyenangkan," gerutu anak-anak malam. Tak perlu lagi bersuka. Biarkan dunia apa adanya. Tak perlu melukis indah hal yang tak indah. Mereka akan terus begitu, hingga pagi menyapa mereka dengan sinar hangatnya.

Friday, August 03, 2007

Tulisan terakhir di YM

Zaq : People can Change
Ozi _ Rahman : Yup Include you and me