Tuesday, September 25, 2007

Bohong!


Aku telah tambahkan untaian bunga peoni di jendela kamarmu. Aku tahu kau menyukai dimanja seperti itu. Senyummu selalu merekah setiap hari padaku. Wajahmu seolah matahari yang menyapaku di siang hari. Padahal, aku hanya ingin kau tak menyadari betapa aku membencimu.

Aku harap kau betah di kamar dan tak perduli urusan di luar area itu. Kubuat semua kebutuhan datang ke atas ranjang. Toh kau sangat menyukai kemudahan itu. Dayang-dayang selalu siap melayanimu dua puluh empat jam. Hiburan yang kau mau pun telah tersedia beraneka ragam. Semua dilakukan agar senyum puas selalu tergambar di wajahmu setiap detik.

Sementara biarkan aku menghirup udara kebebasan di luar rumah. Bebas dari celotehan bibirmu yang tak bisa diam. Apapun yang kulakukan kini, kau takkan tahu. Atau meski tahu pun apa dayamu? Sementara putri-putri cantik mengobral tubuh moleknya setiap hari untukku, kau cukup terlena dan tertidur kekenyangan. Terlena dalam buaian cinta semu.

Nb: Nih pesenan lu... I hope u like it Pocong!

Thursday, September 20, 2007

Tuhan, Kau Sedang Apa?


Sial, entah kenapa serenada tak berdendang hari ini. Apakah Hamelin sudah bosan memainkan seruling? Aku tak tahu. Jelasnya, aku sangat menginginkan hatiku bernyanyi tiada henti dalam sukacita. Tak ada sebuah pertentangan untuk diperdebatkan. Padahal masalah-masalah itu sudah cukup membuat pusing pekan lalu.

Kalau saja berita di media tidak sedemikian membosankan. Kasus yang selalu sama. malang yang kian berulang. Mungkin Tuhan sedang tidur. Ah mana mungkin?

Aku tak tahu Allah, Tuhan para muslim apakah pernah memejamkan mata? Kelihatan pun tidak. Yang jelas kalau aku melihat arca Sang Budha, toh matanya selalu terpejam, kendati mulutnya tersenyum. Yesus pun tergantung lemah dengan mata merem di kayu salib. Mesiah itu demikian pasrah tergantung di dinding rumah kaum kristiani. Bagaimana Wisnu, Brahma dan Siwa? Kendati mata mereka melotot, tangan mereka terlalu sibuk karena masing-masing pegang pusaka.

Kalau celotehan ini membuat marah, maka bodohlah engkau. Karena jika tersimak, ini kan cuma sebuah doa.

Friday, August 31, 2007




Nyanyian jangkrik malam ini terdengar menyayat. Musuh atau sahabat tiada pernah kumengerti. Untuk pertama kali dalam sepuluh tahun kami saling merangkai kata. Mendendangkan hati yang dulu hanya rahasia. Pria berambut putih tampan yang terlalu naif untuk darah. Dia menyatakan padaku untuk tiada berlaga, pergi dari jalan ksatria yang konyol. Adakah ini suatu pertanda akhir dari sebuah jalan?

Kau tiada mampu mengangkat senjata. Matamu menyiratkan ketakutan seperti halnya mataku. Tersampai maksudmu untuk pergi dari pertarungan yang tiada kami mengerti. Pergi menuju jalan kesepian, meninggalkan orang-orang tercinta. Pria yang dulu kutakuti kini menangis layaknya bayi. Haruskah kami melanjutkan laga yang dipinta para kaum bayangan? kau menggeleng tanda tiada kehendak. Dan aku hanya terdiam atas nasib kami yang tiada pasti. Putih lurus rambutmu layaknya malaikat. Hitam berombak rambutku layaknya iblis. Namun sama-sama tiada jalan bercahaya bagi kami.

Saat perpisahan yang terlalu berkesan. Kupandang punggungmu yang penuh beban layaknya aku. Tiada akan ada manusia yang mengerti kisah kami. Kau pergi meninggalkan luka bagi orang-orang yang mencintaimu. Sementara aku? Apakah ada yang menangisi kepergian sang buruk rupa ini. Salju putih yang indah. Hujan badai yang kelam. Sekelilingmu penuh dengan warna pelangi. Dibelakangku hanya penuh makian, cacian, serta wajah para pendusta janji.

Hanya satu yang pasti. Bahaya akan kejaran para manusia bertanda. Liar nasib kami layaknya langit hutan belantara. Bahkan aku tak tahu maksud akan goresan penaku. Hanya dua nasib didepan kami. Bergelimang darah oleh para pemburu, atau hidup dalam kesengsaraan kesepian yang gelap. Kumohonkan doa untukmu wahai salju putih yang indah. Legenda Salju dan Hujan yang tiada pernah dimengerti manusia. Wahai para manusia yang mengenal kisah kami. Kenanglah dalam hatimu sebuah perjuangan dalam bayangan. Menjadi manusia biasa tiadalah mudah bagi Salju dan Hujan. Hidup dalam keterasingan, tiada tergurat dalam sejarah.

Sonata anak-anak malam kali ini sulit terlupa dari ingatanku. Selamat tinggal orang-orang yang mencintai malaikat putih. Cintamu mungkin terbalas di akhir zaman. Sementara aku kembali merenungi waktu-waktu sepi dalam kehidupan. Berharap kepastian nasib akan datang.

Tuesday, August 28, 2007

Tiada Pilihan



Tiada yang dapat menjabarkan rasa ini. Kala rembulan menghilang, aku tiada mau bersulang untuk ketiadaannya. Lututku gemetar. Tiada mampu aku melukiskan ketakutan dan kemarahan. Nasib para manusia bertanda hitam telah menjelang.

Tanda dari langit tak mampu melukiskan kegetiranku akan nasib. Saat itulah aku mencoba berlari mencari keramaian. Namun tiada dinyana. Ditengah luapan manusia, dia dan aku bertemu mata. Manusia dengan rambut seputih salju. Hari-hari kami seolah telah ditentukan.

Kami saling berpandangan kaku. Keningnya berkerut seolah bertanya padaku. Yang kutahu, kami telah terpaku takdir. Ketakutanku adalah ketakutannya. Jalan kebodohan yang telah kutinggalkan lima tahun terakhir tak mampu kupungkiri.

Haruskah salah satu dari kami mengakhiri jalan takdir? Jikalau aku mencapai semesta, maka airmataku kupastikan tiada mengalir. Jiwa semuku bertemu malam. Jikalau aku masih menginjak bumi, kupastikan tiada lagi teman untuk bertemu. Iblis telah mengikat takdir. Doaku melayang tiada pasti.

Saturday, August 18, 2007

Tamu-tamu di Malam Hari



Tamu pertama kuingat singgah di beranda malam itu. Gadis kecil penuh imaji, berselendang kuning berbaju merah. Menari dibuai sinar matahari sore. Bibir mungilnya berdendang, lagu 'Teluk Bayur.' Terbuai aku oleh lenggok gerakanmu, tiada berkedip nyaris terpana. Terbuai jiwa, terbawa marak.(Rw)

Tamu kedua berkunjung membawa senyum berseri. Gadis berkerudung dengan wajah semanis bunga Peoni. Menyapaku dengan buaian sehangat mentari. Tatapannya riang membawa hati gundah menjadi senang. Bersama dia sepanjang waktu membuat hati kian merindu. Bersemi jiwaku kegelapan hilang sudah.(El)

Tamu ketiga mengetuk hati dengan kerlingan mata. Membasuh jiwa dengan lautan gundah. Nurani yang tiada berkata indah. Andaikata terpikat, jiwa raga bagai tersekat. Meski tiada ramah, tiada pula hati menjadi susah. Menatapmu dengan erat, cukup membuat jantungku lekat dengan cinta.(Er)


Tamu keempat menyapa dengan kepolosan. Senyum tersungging ramah, membuat hati merekah. Wajahnya membuat bidadari merasa malu. Andaikata aku dapat menjadi dewa, sembilu untuk bertaut hati denganmu. Namun kau tiada malu. Memelukku tanpa ragu. Membersihan jiwaku dengan lautan kasih. Namun Senja kian merambat lara, kasihku bermuram durja.(Hl)

Tamu kelima menyampaikan salam dengan manja. Membawaku bicara tentang indahnya pegunungan dan kota. Hati nan indah puisi jiwa. Pilu kalbu kau nyatakan keraguan sembilu. Biru hati dalam angan nan maya. Bimbang raga, bimbang jiwa, tiada terkata.(Am)

Tamu keenam tersipu ibarat dewi nirwana. Indah dalam ingatan, bayangan kesturi dalam temaram. Janji sejuta bintang yang kian rapuh. Andai jarak tiada jauh. Jangkar tertambat, perahu berlabuh. Namun tanya seperti air yang selalu mengalir. Adakah swarga pemberhentian diri terakhir.(Ar)

Tamu-tamuku duduk bersenda gurau. Kutuangkan bagi mereka air mata dalam cangkir-cangkir perak. Penganan sederhana dari manis kesetiaan. Namun mereka permisi pergi. Mungkinkah malu bertamu disini? Ragaku memang buruk rupa. Jiwaku hina dina. Rumahku rapuh sudah.

Satu demi satu tamu-tamu meninggalkan pekarangan. Hanya tamu keempat berpisah dengan tangisan. Ia janji bersua, lain kesempatan dalam dunia berbeda. Pergilah tamu-tamu disertai doa. Tiada hati berharap pada penantian. Cukuplah sudah kunjungan hari ini.

Tuesday, August 14, 2007

Rindu di Persimpangan Jalan



Wanita di persimpangan jalan
Renungan senja berganti dendang
Lukisan kalbu terngiang melagu
Hingga malam inginkan pertautan
Kau takkan tahu betapa cinta bagai pedang
Tajam mengiris surga anganku

Oh Dewi berjubah sutra...
Jika malang datang aku tak inginkan perjalanan
Buruknya pengemis dalam ragaku
Jikalau santun berkata, kau tiada terayu
Topeng hatimu sudah mereka tahu

Perpisahan terucap seiring dua jalan
Persimpangan jalan tiada terbayang
Perpisahan jemu, kau mengingatkanku
Wajah Tao semu kau merindukanku
Tak terucap, pupus bertemu
Pastinya kita selalu berdusta
Malang nasib, suratan dewa, cacian surga

Ilalang di padang keletihan
Tiada terperi aku berangan malam
Jalan sepanjang tanah buangan bodoh
Bukan raga dan sambutan tangan keinginanku
Bertemu di alam mati cukuplah sudah
Jika cinta tiada bertaut
Surga dunia, surga akhirat, apalah bedanya...

Wednesday, August 08, 2007

Anak-anak Malam




Anak-anak malam bernyanyi ikuti kata hati. Ayo, mari bersuka dendangkan ceria, bariskan nada. Ha, ha... Mengapa tak semua ikut bernyanyi? Kau di ujung sana menangis tak berkesudahan. Kau yang cemberut hanya diam menghitung bintang. Bersuka, mari bersuka. Hilangkan kegelapan hati dan nanti terbitlah pagi. Alih-alih diam malah menangis kian keras. "

"Ucapan suci apakah itu? Membuat pengang telingaku," ujarnya marah.
"Hal bodoh kekanak-kanakan!" cetus si penggerutu.

Maka semua kerumunan terdiam. Tiada lagi bersuka tak ingat lagi tertawa. Semua kini terbagi dua. Sebagian ikut menangis, sebagian cemberut menghitung bintang. Tiadakah ada keceriaan layaknya nyanyian burung di pagi hari?

"Ini menyenangkan," gerutu anak-anak malam. Tak perlu lagi bersuka. Biarkan dunia apa adanya. Tak perlu melukis indah hal yang tak indah. Mereka akan terus begitu, hingga pagi menyapa mereka dengan sinar hangatnya.

Friday, August 03, 2007

Tulisan terakhir di YM

Zaq : People can Change
Ozi _ Rahman : Yup Include you and me

Tuesday, July 24, 2007

Selamat Tinggal Bekasi

Bernyanyilah lagu sendu. Semua yang terkenang hadir di pelupuk mata. Kamar berdebu yang terlalu indah untuk ditinggalkan. Cinta berlalu, selalu terbawa dalam ingatan. Selamat tinggal dunia lama. Langkahku akan mengayun tiada henti seiring kenangan. Tiada terbuang, selalu disayang...

Wednesday, July 18, 2007

Cacian Kesepian




Tak perlu tanyakan hal sesulit itu. Bahkan bila terjawab oleh sang jenius sekalipun tak akan berguna. Takkan ada yang tahu jalan tercepat menuju nirwana. Bahkan kau akan mencaci saat aku mengais sampah-sampah dari manusia. Samar adalah kata yang tepat untuk menjabarkan kondisi para mahluk tersempurna sekalipun. Bila nanti aku menjawab suratan yang tergenang hujan, toh kau takkan menanggapi.

Asal tahu saja, bila manikam telah kehilangan sinarnya sejak tadi siang. luka yang diderita manusia akan membiru dan bernanah. Ketika mereka saling mencaci borok satu sama lain, sang terkutuk akan tertawa seolah menonton opera komedi. Maka tak usahlah kau indahkan suratan takdir. Bahkan bila kau tahu, hitam akan tetap hitam dalam pandangan matamu.

Suatu saat kau akan mebuang pandangan matamu dariku. Dan aku akan tertawa bahagia dalam cacian dan makian yang terlontar darimu. Aku adalah sang pendusta yang mencabuli dunia dengan cat warna gelap. Kala itu sejuta siksa akan mendera bagi kaum kami. Padahal saat ini hiburanmu adalah daging, arak, dan tontonan indah wanita tanpa busana.

Jalan ini mungkin terlalu sulit bagimu. Terpuruk dalam kemiskinan dan bergelimpang kemunafikan tentu bukanlah pemandangan surgawi. Padahal saat matahari menyinarkan cahaya pelangi kau tak menikmati keindahannya. Manusia bodoh yang mengalihkan pandangan dari alam. Bergelimang alat-alat listrik dan tumbuh diantara batu dan semen. Tak perlu kau indahkan kata-kata kasar yang terlontar dari mulut para pemberontak peradaban. Mereka tak akan pernah mengatakan hal tentang keindahan seperti melihat Yusuf dalam balutan sutra dan permata dari Zulaikha. Dan kami tak perlu persaudaraan Abel dan Kain yang kau tawarkan. Saat ini Kami tersendiri dalam keremangan. Menunggu hingga pagi menjadi malam.

Thursday, July 12, 2007

Wajah Sebuah Bangsa

Tiada kalam yang menjelaskan cerita bagaimana manusia tergolek dalam derita. Karma tak mampu pula menjelaskan hikayat sebuah nada pedih dan suka. Ah, bila begitu akan lebih baik tiada malaikat yang turut menyertai kita. Kata-kata pengorbanan memang pahit diucap dan dilakukan. Bahkan aku tak tahu bagaimana Tuhan menilai kita setiap detik dan menitnya.

Andai saja dunia memiliki satu satria. Namun ternyata banyak pernyataan pahlawan di setiap sudut negara. Kendati demikian, tiada seorangpun yang mumpuni padahal darah mengalir setiap hari.

The image “http://www.csulb.edu/~odinthor/Devil.jpg” cannot be displayed, because it contains errors.

Terlelap sebuah bangsa dalam keanggunan dan kesombongan. Seolah borok tiada terlihat dalam setiap sejarah. Aku, mereka, dia, takkan tahu mana dimana harus bersandar. Mungkin ada baiknya setan-setan menemani agar kami dapat mengasapi dapur. Tapi entah mengapa itu adalah patokan pasti bahwa jalan ini tercela. Tak perduli alasan, maka derita adalah janji bagi para pendusta Tuhan. Padahal setiap hari kami dicabuli oleh putra-putri raja.

Andaikata kami terlahir kembali, lebih baik jadikan pohon yang menaungi setiap pejalan yang hendak berteduh. Karena kami tahu, ternyata kami tiada diteduhkan oleh penguasa. Padahal doa kami selalu menyertai mereka yang berada di singgasana. Sudahlah... Mungkin memang pada akhirnya kami akan mati. Entah di trotoar jalan atau di atas ranjang. Akan terucap sapaan dari para penguasa melalui lisan kami untuk penghuni neraka. "Mas Iblis, kata juragan saya, salam hormat untuk anda!"

Tuesday, July 10, 2007

Pergi




Kau tidak akan mengerti mengapa aku pergi di pagi buta
Segalanya tampak samar bagimu saat jendela terbuka
Ragaku telah siratkan duka bagimu
Jiwamu telah menaruh luka padaku
Kini biarkan dunia hening
Sesaat kau bangun dari tidur panjang
Tanpa tahu saat kau terlelap, aku telah mengucapkan selamat tinggal
Maka kubiarkan jendela heti tertutup
Jalanku yang panjang telah memanggil
Dalam kesendirian menatap bulir-bulir hujan
Keremangan malam adalah tujuan hidup yang pasti
Jika hari baru tiba kau akan lupakan cerita kita
Sementara malam tiba aku masih teringat tawa kau dan aku
Aku pun akan letih dengan seribu pengharapan
Dalam kesendirian aku akan menafikkan engkau
Dan kau takkan perduli karena angin musim semi datang menyegarkan
Indah yang tak terkata membuat kau berhenti mencari misteri
Mimpi indah baru telah hadir malam ini
Dan kini aku mula mengitung detik-detik kebahagianmu
Tanpa kau sadari betapa lama diam dalam sepi hingga malam hari
Terucap selamat jalan, meski ternyata akulah yang melangkah pergi

CINTA



Jangan kau sebut kata cinta
Bahkan aku tahu kau takkan mengerti maknanya
Dalam bayanganmu cinta adalah mimpi indah dalam tidurmu

Bagimu...
Cinta adalah pernikahan sempurna dengan mas kawin gemerlap
Cinta adalah perjalanan bulan madu indah ke tempat mewah
Cinta adalah suami yang pergi bekerja pada pagi hari dan pulang sore hari

Jika itu adalah cinta bagimu, sebaiknya pikirkanlah lagi
Cobalah bertanya pada kotak kardus dipinggir rel kereta
Seorang wanita muda, pria dan anak kecil
Mereka berpelukan meski hujan membuat atap kardus mereka bolong

Tengoklah sejenak pada cinta yang lain
Seorang pemuda sekarat menanti ajal
Dalam genggaman tangan kanannya sebuah foto dara terhias air mata
Di tangan kiri sebuah undangan pernikahan bersampul warna emas

Lihatlah lebih jelas kini
Seorang pemuda berpakaian tentara
Menanti perang usai dengan harapan indah akan sebuah cinta menunggu saat pulang
Namun tanpa ia tahu
Bunga itu kini tengah menggendong buah hati, sambil menunggu arjuna lain pulang

Kini katakan lagi padaku apa arti cinta bagimu
Bila kau tiada terusik, maka aku bersyukur kau pergi
Mimpi tentangmu takkan mengusik aku lagi kini

Tuesday, June 05, 2007

Rahwana

nb firsth: ini buat Arai

Aku dibesarkan oleh kesalahan takdir
Putih yang menjadi gelap, gelap yang menjadi nista
Aku terlingkup angkara murka
Tiada kesan putih dalam setiap bercak darah
Aku jawaban untuk kebaikan yang membutuhkan tandingan
Mengapa jiwa kebaikan tiada berbekas untukku?

Tiada cinta tercipta untukku
Aku terlahir untuk bertepuk sebelah tangan
Dasamuka
Sepuluh wajahku tiada tampan nyaris seperti iblis
Dewata demikian tak adil
Cinta hanya untuk Dewa dan Dewi
Cinta hanya untuk Ksatria dan Putri
Cinta hanya diam dalam selubung putih yang congkak

Aku mencuri cinta demi hati
Aku mengorbankan jiwa demi obesesi
tak ada abadi bagi denawa berlapiskan dusta
semua semu

Betapa aku menemukan dewi pelipur lara
Dia tiada tersenyum menyapa laksana embun
oh Sinta ... bagimu aku bagai kotoran yang dikerubungi singgat dan ulat
Dewata... tiadakah aku pantas mendapatkan cinta?