Monday, December 29, 2008

Jangan Coba Memutar Waktu


Hanya satu yang saya pikirkan saat ini. Dimanakah keberuntungan yang baik itu. Andai saja dunia berputar searah jarum jam, maka biarkanlah tetap begitu. Sepanjang hidup, ingin rasanya memutar jarum jam ke arah sebaliknya. Namun sepertinya itu hanya keinginan sesaat karena penyesalan tentang apa yang diperbuat masa lalu. Tapi adakah gunanya? Sekarang, hanya ingin menjadi orang yang jujur terhadap fakta dan realita. Setidaknya, jadi manusia yang tidak akan mencoba memutar waktu.

Rasanya saya pun tak ingin menggunakan istilah aneh-aneh yang membuat orang justru bingung. Mungkin seperti ini, roda kehidupan akan terus berjalan dan tak akan menunggu terhenti. Semua orang tentunya sudah tahu akan hal itu, tapi apakah mereka paham? Penyesalan dari hati tentu tidak berkata demikian. 'Seandainya saya tidak...' Bisakah hentikan memikirkan kata itu.

Hukum sebab akibat adalah hal yang paling saya benci. Setelah makan pasti kenyang, atau setelah maling ayam pasti dipukuli orang sekampung. Meski tak suka, namun itulah hal pertama dalam hidup yang ternyata saya pelajari. Bukan belajar membaca atau merangkak. Saat masih bayi, hanya terpikirkan satu hal. Ketika menangis, orang tua pasti akan datang menghampiri. Selebihnya, biar mereka yang menangani. Bukankah itu hal pertama setiap bayi pelajari, apa yang kita semua pelajari.

Andaikan Tuhan memberikan penjelasan setiap aspek kehidupan yang kita jalani. Nyatanya tidak, kita tetap harus mengandalkan pengalaman dan mencoba. Hidup tanpa menjalani penyesalan. Saya tak yakin bisa menjalaninya dengan baik. Tapi siapa yang tahu. Jadi biarkan mengalir saja bukan?



Untuk: Arini Firdhianti Salsabila Tercinta, seorang teman yang baik.

Seseorang dan Sandal jepit


Bocah lelaki mengenakan sendal jepit berlari kecil sambil menjinjing termos es. Tiba di sebuah warung, termos itu kini menjadi bagian dari dagangan. Bukan termosnya, melainkan es teh manis di dalamnya yang berjumlah 45 buah. Dijajakan seharga seratus rupiah dan si bocah mendapat laba dua puluh rupiah setiap satu buah.

Anak kecil bersendal jepit kini sibuk menghitung koran dan majalah di atas mobil bak terbuka. Setelah dihitung, koran dan majalah itu diberikan pada kios penjaja eceran. Untuk pekerjaan ini dia harus bangun setiap pukul tiga dini hari dan selesai pukul enam pagi. Setiap hari dia menerima uang tiga ribu rupiah sebagai upah.

Setiap hari sepulang sekolah, bocah kecil bersendal jepit pergi ke pasar. Duduk di depan jejeran kaus kaki, celana dalam dan tali sepatu. kios ini bukan miliknya, namun dia di upah dua ribu rupiah setiap hari jika mau menunggui dagangan dari siang hingga sore.

Dari bocah kecil kini berubah menjadi seorang pemuda. Hanya saja dia masih mengenakan sendal jepit. Dihadapannya ada tumpukan buncis yang dijual seharga Rp 1.700 rupiah per bungkus. Jika per kilogram, buncis dijual seharga Rp 2.600. Sebagai imbalan, pemuda itu diupah lima ribu rupiah sehari.

Pemuda dengan sendal jepit kini berjalan terbungkuk-bungkuk. Di pungggungnya ada karung beras yang sangat berat. Setiap hari, dia harus mengangkat karung beras setidaknya empat puluh sak. Untuk pekerjaan itu sangat menyita tenaga. Hasilnya lumayan, tiga puluh ribu rupiah sehari.

Kini sang pemuda sedang duduk di depan sebuah rental video. sendal jepitnya masih setia menemani di teras. Pekerjaan ini lumayan menyita waktu meski tak melelahkan. Meski dalam satu bulan, dia cuma mendapat hasil tak jelas. Kadang dibayar, kadang juga tidak.

Si Pemakai sendal jepit kini duduk di depan meja komputer. Dia mengentikkan makalah bagi mahasiswa yang memang malas atau tidak bisa menggunakan komputer. Kerja seperti ini sangat melelahkan mata. Namun hasilnya lumayan, Rp 500 per satu lembar. Setiap hari, setidaknya selalu ada orderan lebih dari enam puluh lembar.

Sendal jepit sang pemuda kini selalu licin karena minyak. Kini dia sedang membakar sepotong ayam di warung ayam goreng dan ayam bakar. Pekerjaan yang melelahkan tapi sangat menyenangkan. Tidak ada upah untuk pekerjaan ini. Hanya saja setiap hari, dia bisa makan gratis. Menyenangkan, setidaknya itu upah yang sudah cukup baginya.

Sendal jepit milik si pemuda sudah tipis, tapi toh tetap saja masih dipakai. kadang-kadang sendal itu menemani si pemuda mencuci piring di warung nasi goreng. Kadang-kadang sendal jepit itu hanya nganggur sambil memperhatikan si pemuda melayani pembeli mie ayam. Dia juga ikut ambil bagian saat si pemuda berjualan sendal di kawasan sebuah universitas negeri setiap hari minggu. upahnya lumayan. Setidaknya cukup untuk membeli rokok dan makan.

Kini sang pemuda mengenakan sepatu. Tapi sendal jepit tetap bersamanya, meski disimpan di dalam tas. Kini si pemuda bekerja mengurus keperluan pameran atau seminar. Upahnya memang tidak banyak. Tapi cukuplah untuk membayar listrik rumah dan membantu belanja.

Sendal jepit itu kini menangis sedih. Dia tak bisa menemani Sang pemuda yang kini sudah berganti pekerjaan. Pemuda itu kini bekerja di sebuah kantor pemberitaan televisi nasional. Bekerja selama dua belas jam setiap hari. Tidak hanya itu. Senyum seolah hilang setiap kali pulang. Meski upah pemuda itu kini lebih baik, namun penyakit dan keletihan menggerogoti tubuh letih itu.

Si pemuda berganti pekerjaan sebagai staf di kantor biro hukum. Namun sendal jepit tetap tak bisa ikut menemani. kini si pemuda malah sering pulang sambil marah-marak tak jelas. Bisa jadi beban pikirannya demikian berat. Mungkin karena dia selalu terjepit situasi yang membuat dia tak bisa berbuat banyak. Andai saja bisa bicara, sendal jepit ingin sekali bisa meringankan beban sahabatnya itu. Namun toh apa daya, dia cuma sendal jepit.

Kini sendal jepit sangat senang. Si pemuda itu kini bersamanya lagi di setiap pekerjaannya. Kini sang pemuda membuka toko reparasi komputer dan pengetikan. Setiap hari, si pemuda selalu tersenyum dan tertawa. Aneh, padahal upah kerja si pemuda kadang hanya cukup untuk makan dan beli rokok. Tapi mengapa pula dia sebahagia itu? Saat bekerja dengan upah melebihi yang sekarang, dia selalu murung dan sedih. Manusia sulit diterka, demikian pemikiran sendal jepit.

Sandal jepit kini sangat bahagia. Meski hanya karet, toh dia berkesempatan keliling Indonesia. Bersama si pemuda, mereka mengunjungi sejumlah pulau dan keluar masuk hutan. Pekerjaan yang berat, namun senyuman dan tawa riang selalu hadir di wajah si pemuda. Pekerjaan yang melelahkan dengan upah yang minim. Tapi ternyata kebahagian tidaklah selalu hadir dalam bentuk limpahan harta benda. Karena saat itu, si pemuda tak pernah melewatkan hari tanpa tawa dan canda.

Kini sandal jepit tak sering bepergian lagi. Si pemuda rupanya kini sedang mencoba pekerjaan baru. Setiap hari, si pemuda selalu tampak sibuk di depan komputernya. Yah Meski belum sukses dalam hal materi, toh sendal jepit selalu berdoa. Semoga saja, kebahagiaan selalu hadir di hari-hari dia dan sahabatnya itu. Semoga...

Monday, December 15, 2008

Krisis Ekonomi


Sudah dua pekan saya mengurung diri di kamar. Keluar pun hanya sekedar membeli rokok di warung. Tidak ada alasan rahasia kecuali ketak-ketik sendiri dan mencoba membuat tulisan yang bisa jadi duit. Alasan lain? Karena pekerjaan kuli angkut di pasar sekarang sudah banyak saingan. Ha ha, tapi pernyataan tadi serius lho...

Kalau diingat, diraba dan diterawang. Rasanya sudah beberapa tahun ini hidup saya tak ubahnya seperti ayam. Kadang hari ini makan enak, besok tak tahu. Hari ini bisa merokok, besok belum tahu ngebul atau tidak. Bisa dapat duit untuk tiga hari kedepan, nantinya ya mana ngerti. Semua tergantung takdir dan takdir yang menggantung saya. Selama saya tidak stress dan gantung diri sih rasanya aman-aman saja. Tapi jujur! Saya capek hidup tidak menentu. Sudah banyak kerjaan yang saya geluti. Hasilnya sama sekali tidak memuaskan. Sampai sekarang pun saya masih merindukan kerja P3S (Pergi pagi pulang sore). Tapi entah mengapa sulit sekali didapat. Burung yang nemplok di jendela kamar saya bilang, "Mungkin karena krisis ekonomi global."


Saya tak begitu mengerti soal ekonomi. Apalagi yang namanya global. Saya cuma tahu global itu nama saluran televisi punya Media Nusantara Citra. Tapi ternyata sangat berimbas dalam karir saya. Baik karir kaki lima (kerja di jalanan), kaki dua (kuli rumahan), dan tanpa kaki (Boro-boro kerja). Tiba-tiba saja saya pun terkena imbas krisis ekonomi. Apalagi harga rokok yang kian naik. Kini saya terpaksa membeli rokok ketengan. Atau kadang-kadang menurunkan standarisasi rokok. Misalkan saja: biasa merokok samsu, sekarang berubah jadi Sampoerna kretek. Djarum Super jadi Djarum 76 atau Gudang Garam jadi Bentoel Sejati. Beruntung mulut saya asbak alias doyan segala jenis rokok. Mungkin lewat krisis ini, Tuhan telah memperingatkan saya untuk menjauhi nikotin. Jika itu yang memang sudah digariskan, saya pasrah untuk meninggalkan rokok (Saya tulis ini sambil menyilangkan jari loh).

Krisis ekonomi ini datang seperti jalangkung. Datang tak dijemput, hanya saja sepertinya tak pulang-pulang. Dua bulan ini bisnis reparasi komputer saya anjlok. Layaknya tali kolor yang sudah melar, omzet bulanan pun turun. Biasanya saya bisa makan daging sebulan empat kali. Kini empat bulan terakhir ini saya berubah drastis jadi vegetarian. Nasi, tahu, plus sayur asem. Pertengahan bulan makan nasi, tempe, dan oseng kangkung. Akhir bulan kemarin lebih menyakitkan. Nasi putih hangat plus terasi ABC sachet yang dibakar pake korek api. Oh Tuhanku. Setidaknya jika krisis ekonomi berlanjut, tolong berikan daku pekerjaan baru (Atau setidaknya jangan naikkan harga warnet).
Amin...