Pernahkah seorang manusia berfikir bahwa hidup itu penuh dengan batas?. Lucunya, manusia tidak pernah berfikir tentang bagaimana melangkahkan kaki pada batas-batas yang sudah ditentukan. Jika hendak mendobrak batas, sejauh mana kekuatan manusia untuk menghantam dinding batas itu. Jikalau sang batas menjelma sebagai pintu undang-undang yang diciptakan manusia, maka seluruh manusia yang ada di bumi pasti dapat mendobrak pintu itu. Namun bagaimana jadinya kalau batas itu adalah batas yang dibuat Sang Khalik?.
Manusia boleh berpendapat batasan Sang Khalik adalah agama. Bahkan, ada yang berpendapat batasan itu berwujud komitmen dalam hati nurani. Namun bagi manusia tak beragama, batasan itu adalah sebuah kendala sosial yang tidak pernah menyatakan "setuju" pada pemikiran liarnya. Padahal pemikiran adalah satu-satunya senjata manusia untuk menyingkap alam semesta. Boleh jadi ada pertanyaan pemikiran liar apakah?. Jawabnya pemikiran yang berdasarkan nafsu yang menciptakan kedangkalan cipta. Berfikir hanya berdasarkan logika. Padahal, logika hanyalah urutan panjang daftar dokumen yang sudah dimengerti. Logika membutuhkan bukti. Namun bagaimana jadinya bila bukti itu seakan berlari ketika kita mengejarnya.
Implisit, bahkan rancu dan tak masuk di akal. Mengapa keteguhan untuk berjalan tanpa keluar dari batasan Tuhan itu ada?. Pernahkan kita berfikir bahwa otak kita hanya mengingat data yang bersifat sementara?. Bila ada data baru, data yang lama akan musnah dan tak akan bisa diingat lagi. Dan data itu pastinya tidak memiliki kandungan nafsu yang kuat, nafsu marah, sedih, indah, dan lain-lain.
Berjalan dengan batasan yang diberikan Tuhan. Kendati kita tak dapat membuktikan Tuhan itu ada, apakah kita dapat membuktikan Tuhan itu tak ada?. Manusia terkadang tak akan mengerti perwujudan itu tanpa melihatnya dari lingkaran dalam. Namun, bukankah berada di lingkaran dalam berarti manusia telah menerima batasan itu?, jawabannya, tentu saja tidak. Untuk melihat kedalaman isi laut maka manusia harus berenang masuk dan melihat isinya. Jika hanya melihat dari kaca etalase toko apakah berarti manusia telah mengetahui apa yang toko itu jual?. Jika manusia tidak mau masuk dan mengetuk pintu rumah, apakah manusia bisa melihat pemilik rumah tersebut?. Mengapa manusia hanya mau melihat dari sisi logika dan terawangan tak objektif. Bukankah manusia harusnya melihat dari berbagai sisi, berbagai batas, berbagai pengalaman. Manusia bebas berekspresi dari berbagai sisi seperti logika, agama, hukum, naluri, dan sisi lainnya.
Kesimpulannya, apakah manusia akan tetap memikirkan tentang batasan Tuhan?. Apakah manusia akan menerima batasan tersebut?, atau tidak?. Hanya Manusia yang dapat menjawabnya...(OZI)
Nb: Salah satu sifat manusia yang perlu diingat adalah "Mencemooh Karya Orang Lain", manusiawi memang..., namun kekanak-kanakan..
No comments:
Post a Comment