Sunday, December 26, 2004

Kembali ..

Aku terpana, ketika senyum manismu menyapaku dari kejauhan. Dahiku makin berembun saat barisan gigi-gigi putihmu menambah indah raut wajah itu. Seketika aku limbung setelah pesonamu membiarkan aku melepaskan setengah jiwa dalam kesepian. Namun kala itu, kau bagaikan mahluk asing yang menarik jiwa ketika setetes air jatuh di daun talas.

Perlahan jiwa-jiwa ksatria merapuh bagaikan pengemis. Penunjuk waktu makin berlalu saat kau ambil semua kehidupan lain dariku. Mungkin kini harimau dalam hati telah berubah menjadi kelinci. Meski wajah-wajahku mungkin hanya sebutir beras dalam lumbung ingatanmu.

Rahasia adalah emas kehidupan. Namun kubiarkan harta itu berlalu tanpa kesan. Jiwa-jiwa sang pengembara telah rapuh. Ingatan lenguhan wanita-wanita jalang itu kini sirna. Kau bagaikan langit biru yang dipenuhi awan. Aku bagaikan terik mentari yang ada di sahara. Semua hanyalah keringat yang menguap di baju kotor. Semua tolol!.

Saat Awan menyapaku aku hanya terdiam. Namun dia tahu tentang emosi bodoh dalam hatiku. Bahkan Angin mulai menyapaku kasar. "Hai Bom Waktu," ujar dia sambil terkekeh-kekeh. Namun lidahku kelu untuk menangkis badai. Kini aku siuman. Semua onak harus dipotong. Kini aku mulai lupa menghitung waktu. Kini aku mulai meninggalkan sosok pemimpi. Aku akan terus berjalan lurus menuju halte bus bila kau tak memanggil namaku. Seketika aku bagaikan tertidur dan memimpikan nirwana. Meski kini aku dapat melihat lebih dekat tapi mimpi tetaplah asap.

Satu yang tak kutahu, ternyata kau terlalu rapuh. Bila sinar matahari tak menerangimu aku tak akan melihat kau terkulai lemah di sudut pesta. Andai ku tahu kau membaca buku yang kubaca, mungkin aku akan membelai setiap lukamu. Keindahan baru kurasakan saat kau pamit pergi menuju istana antah berantah. Ketika aku menyadari aku lebih bodoh dari keledai. Hanya hujan yang ikut berduka bersamaku kala itu.



Sorrow

Akan kubiarkan bejana dalam jiwaku tertutup meski kosong. Kutulis permintaan padaMu agar mengisi wadah itu suatu waktu. Bila telah tiba, akan kubiarkan dia mengisi wadah itu dalam keabadian. Namun wahai Penguasa, kerinduan terlalu lama untuk dijalani. Dalam imajinasiku, sang bunga telah memanggilku untuk pulang. Aku ingin pulang. Aku benar-benar ingin kembali tolol seperti dahulu. Saat berlutut di hadapan batu yang terdapat goresan namamu aku larut dalam sesal. Aku ingin tetap disini. Ditemani lagi oleh sang hujan, aku kini melangkah menuju tempat kediamanmu. Derap langkahku makin cepat, saat pintu maya itu menampakkan diri di hadapanku. Selamat tinggal dunia.

Oz 20 Des 2004/ jam 01.30 WIB

No comments: