Saturday, June 05, 2004

Epilog Yang Sia-sia

Mungkin, kita tak akan dapat lagi menyambut mentari pagi. Pijar-pijarnya kini mulai tak lagi menari. Sementara, derap langkah para malaikat maut mulai membahana. Tidak, kita tak akan bisa terdiam dalam rimba yang mulai canggung. Semua kini terasa bagaikan berada dalam sekam. Semua terasa begitu rapuh. Perlahan malam menjelang dalam kebimbangan. Apakah kita ragu untuk menapakkan kaki?. Jangankan untuk berjalan, merangkak pun rasanya seluruh raga takkan sanggup. Membisu dalam keramaian, semua kini berhenti berbicara.


Ngozi Thea
Mungkin perkataan para pria berjanggut putih itu salah. Tak mungkin ada esok bila plang penunjuk arah kini mulai rusak oleh keserakahan. Kemanakah para pria berbaju putih itu menuju?. Awan pun mulai mentertawakan kami yang seolah lemah bagai kapas. Mungkin ketiadaan adalah sebuah solusi. Mungkin hanya bocah yang berjalan tegap sambil meneriakan pelajaran sekolah yang harus diikuti. Perlahan, derap para malaikat maut akan mencapai akhir. Dan kita mungkin tak akan sanggup melihat langit yang perlahan menghitam.


Matahari Tak lagi tersenyum. Ini adalah hari terakhir para bidadari tersenyum. mereka perlahan meninggalkan tali yang menjerat. Tali yang menghubungkan sepatuku dengan ikat pinggangnya. Tak terdengar serapahan yang kasar. Mungkin telinga sudah letih. Dan semua kini berakhir. Namun tidak bagi bocah-bocah bertelanjang kaki itu. Langkahnya makin tegap tanpa tahu kelam yangada di hadapannya. (OZI)

No comments: